Fenomena Kartu Kredit Berbasis Syariah

Seperti yang sudah kita semua tahu bahwa kartu kredit merupakan alat pembayaran pengganti uang tunai, berbentuk selembar kartu yang memberikan fasilitas kredit kepada pemiliknya, dimana pada saat jatuh tempo dapat dibayar dengan jumlah minimum dan sisanya dijadikan kredit atau dibayarkan secara fullpayment sekaligus. Beberapa tahun terakhir pertumbuhan kartu kredit di Indonesia cukup pesat sehingga metode pembayaran dengan menggunakan kartu kredit ini seolah - olah sudah menjadi trend masyarakat terutama di kota - kota besar misalnya saja Jakarta. Fungsi uang sebagai alat pembayaran semakin tergantikan dengan penggunaan kartu plastik ini, hingga dalam transaksi tidak perlu lagi membawa setumpuk uang di tempat-tempat perbelanjaan. Cukup dengan mengantongi sebuah kartu plastik yang berukuran kira-kira panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter dan kemudian cukup menggesekkan di tempat-tempat belanja yang berlogo Visa, Master Card, Amirican Ekspress, Maestro, Diners Club, atau Mondex, para pemakai kartu ini sudah dapat membawa pulang barang-barang belanjaannya


Pada umumnya kartu kredit ini diterbitkan oleh perbankan konvensional. Hampir seluruh bank baik bank berplat merah ataupun perbankan swasta dapat menerbitkan kartu kredit untuk nasabahnya. Namun selain perbankan konvensional, fenomena kartu kredit juga menarik minat para pelaku bisnis pada perbankan islam yaitu perbankan yang menggunakan asas islam dalam bertansaksi atau biasa dikenal dengan Bank Syariah untuk turut serta menerbitkan kartu kredit. Entah merupakan salah satu strategi marketing perbankan ataukah hanya mengikuti perkembangan trend masyarakat, yang pasti kartu kredit merupakan suatu peluang pasar untuk menarik nasabah sebanyak - banyaknya.Walaupun masih terjadi pro dan kontra pada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa penerbitan kartu kredit pada bank syariah hanya akan menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat, disamping berpotensi menimbulkan rasio pembiayaan bermasalah.


Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006 menyatakan bahwa penggunaan kartu kredit diperbolehkan pada bank syariah dengan memperhatikan tata aturan dan prinsip syariah antara lain dengan akad Kafalah, Qardh dan Ijarah. Hal ini didasari atas alasan, salah satunya, untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk bertransaksi serta memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap kepemilikan uang. 

Pada fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI kartu kredit syariah disebut dengan Syariah Card atau dalam bahasa Arabnya menggunakan istilah Bithaqah I’timan. Bithaqah secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, dan diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas tersebut. Sementara I’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Biasanya, pada dunia bisnis hal ini diartikan sebagai pinjaman yang diberikan kepada orang yang dipercaya dalam sikap amanah dan kejujurannya, sehingga diberikan sebuah pinjaman dengan jumlah tertentu untuk kemudian dilakukan pembayaran secara tertunda. Dalam fatwa tersebut ditentukan juga batasan dari kartu kredit syariah, antara lain:1. Tidak menimbulkan riba2. Tidak dipergunakan untuk bertransaksi yang tidak sesuai dengan syariah3. Tidak mendorong pengeluaran berlebihan4. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Selebihnya penggunaan kartu kredit syariah ini tidak berbeda dengan kartu kredit konvensional, namun ada hal - hal yang membedakan keduanya diantaranya untuk kartu kredit syariah ini tidak dapat dipergunakan untuk bertransaksi pada merchant yg menjual produk - produk yang dilarang dalam islam, misalnya night club, gambling transaction dsb. Perbedaan lainnya dalam kartu kredit konvensional, nasabah dikenakan bunga yang nilainya 3-4% per bulan sebagai bentuk pengambilan keuntungan terhadap pelunasan tagihan yang dicicil. Pengenaan bunga tersebut akan dibungakan lagi jika nasabah tidak membayar penuh tagihannya. Apabila nasabah hanya membayar minimum payment, maka bunga akan dihitung sejak mulai pembelanjaan dan akan ditambahkan pada total jumlah pinjaman. Artinya nasabah harus membayar bunga atas bunga, yang disebut sebagai bunga majemuk. Sehingga dapat dipahami apabila tagihan kartu kredit bisa berlipat ganda, apalagi jika nasabah kurang bayar tagihan, maka akan muncul denda dan atas denda tersebut akan dikenakan bunga lagi. Sedangkan dalam kartu kredit syariah, sebagai pengganti bunga, nasabah akan dikenakan fee yang nilainya tergantung pada sisa kewajiban bukan dari nilai pembelanjaan. Dengan demikian  fee ini menjadi relatif lebih murah dibanding kartu kredit konvensional. 

Perbedaan lain adalah perlakukan pengenaan denda bagi nasabah yang mengalami keterlambatan dalam pembayaran kartu yang jatuh tempo dan atau pemakaian kartu yang melampaui batas limit. Jika dalam kartu kredit konvensional denda keterlambatan dapat diakui seluruhnya sebagai sumber pendapatan bank, bahkan merupakan sumber pendapatan yang cukup besar, maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak akan dikenakan denda. Bank hanya boleh mengenakan biaya penagihan (ta'widh) yang nilainya sesuai dengan kerugian riil yang terjadi akibat penagihan yang dilakukan oleh bank. Misalnya dalam penagihan, bank menghubungi nasabah melalui telepon atau mendatanginya, maka biaya riil yang muncul akibat penagihan ini dapat dibebankan kepada nasabah. Teknik penagihannya pun harus menggunakan prinsip-prinsip syariah, baik cara berperilaku, berbicara dan bertindak. Pihak bank syariah lebih mengutamakan edukasi kepada nasabah tentang kewajiban hutang piutang menurut ajaran Islam.
Salah satu contoh perbankan syariah di Indonesia yang sudah mengembangkan pembiayaan di sektor kartu kredit adalah BNI syariah dengan nama produknya IB Hasanah Card. Apabila anda tertarik untuk mencoba menggunakan kartu kredit berbasis syariah, berikut ini saya berikan link permohonan aplikasi IB Hasanah Card dari BNI. Silahkan mencoba apply mudah - mudahan rejeki kartu kredit berbasis syariah ini menjadi milik anda. 

No comments:

Post a Comment